Selasa, 18 Juni 2013

PERMASALAHAN DALAM DEMOKRASI NEGARA

Masalah yang Kerap Muncul dalam Proses Pilkada

Kesadaran akan pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran serta rakyat Indonesia dalam melaksanakan Pemilihan Umum, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah. Ini terlihat dari jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya yang sedikit.
Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara langsung pertama kali, yakni pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta anggota MPR, DPR, DPD, DPRD di tahun 2004. Tentu saja, ketika itu masih terdapat banyak masalah dalam pelaksanaannya, namun tetap masih dapat disebut sukses.
Setelah kesuksesan proses pemilihan langsung presiden dan wakil presiden di tahun 2004 itu, maka sejak Juni 2005, model pemilu langsung ini juga kemudian diterapkan berupa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) di 226 daerah, yang meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota. Tujuannya tetap sama, yakni agar warga dapat menentukan pemimpin daerahnya menurut hati nuraninya sendiri.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, ketika itu metode pemilihan kepala daerah menggunakan sistem perwakilan partai-partai di dewan legislatif, maka pemilihan kali ini sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat, dengan harapan prosesnya nanti lebih aspiratif dan demokratis.
Rupanya, sistem pemilihan langsung yang diterapkan dalam Pilkada juga menuai masalah. Muncul berbagai penyimpangan, mulai dari masalah data administrasi bakal calon sampai dengan yang berhubungan langsung dengan pemilih.

Pengertian dan Landasan Hukum Pilkada

Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos, yang berarti rakyat, dan kratos, yang berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintahan yang kewenangannya berada di tangan rakyat. Semua anggota masyarakat (yang memenuhi syarat pilih) diikutsertakan dalam kehidupan kenegaraan dalam aktivitas pemilu.
Pelaksanaan demokrasi ini telah dilakukan sejak dahulu di berbagai daerah, hingga Indonesia merdeka sampai sekarang ini. Demokrasi di Indonesia bersumber dari Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian disebut sebagai Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila berintikan; musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak pada faham kekeluargaan dan kegotongroyongan. Indonesia pertamakali melaksanakan pemilu pada akhir tahun 1955, yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan.
Pilkada secara langsung ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
  1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat, karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
  2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, gubernur, bupati dan wali kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
  3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
  4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah; antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
  5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, ketersediaan kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung seperti ini.

Pelaksanaan dan Penyelewengan Pilkada

Dalam pelaksanaannya Pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) di wilayah masing-masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat, yaitu mengatur pelaksanaan Pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan Pilkada.
Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh para bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali. Seandainya para bakal calon tersebut kemudian berhasil menduduki posisinya, bagaimana nantinya nasib daerah tersebut, karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar.
Di sisi lain, biaya yang digunakan dalam masa pencalonan yang tidak sedikit, seringkali membuat calon terpilih melakukan segala cara agar biaya yang telah dikeluarkannya selama proses pencalonan dan pemilihan berlangsung, dapat kembali secepatnya, alias “balik modal”. Ini sangat berbahaya.
Dalam sebuah pelaksanaan Pilkada, pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Ketidakpuasan ini kerap berujung pada hal-hal yang negatif dan destruktif. Lihat saja, kasus pembakaran kantor KPUD di salah satu provinsi di Sumatra, misalnya. Ini membuktikan, sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat yang terlibat dalam sebuah pesta demokrasi.
Tidak saja masalah muncul dari para bakal calon. KPUD juga tidak sedikit menyumbang persoalan. Di salah satu KPUD di Jakarta, para anggotanya terbukti mengemplang dana Pilkada. Korupsi dana Pilkada itu sempat memperlambat proses Pilkada.
Dapatlah dilihat seperti apa rendahnya mental para penjabat publik ini. Bahkan yang paling memalukan adalah, untuk sekadar meloloskan bakal calon yang tidak memunihi syarat, anggota KPUD meminta dana puluhan juta rupiah dari para bakal calon.
Sejumlah kecurangan yang dilakukan oleh para bakal calon, antara lain : 
  • Politik Uang.
Politik uang ini selalu saja menyertai setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan kondisi ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, para bakal calon membagi-bagikan uang kepada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, memudahkan para pelaku politik ini memperalat dan mengatur proses pemilihan di tingkat masyarakat pemilih. Barangkali, inilah sebabnya, untuk menjadi seorang kapal daerah, keahlian politik dan kemampuan memimoin saja tidak cukup. Mereka harus berbakal uang yang banyak. 
  • Intimidasi.
Beberapa oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Ini jelas-jelas melanggar peraturan pemilihan umum. 
  • Pendahuluan Start Kampanye.
Tindakan inilah yang paling sering terjadi. Modusnya beragam pula, seperti pemasangan baliho, spanduk, pembagian selebaran. Motif kunjungan kerja pun sering dilakukan, khususnya bagi calon incumbent. Intensitas kunjungan kerja ini akan makin tinggi saat mendekati pemilu. Media lokal bahkan sering digunakan sebagai alat kampanye dini. Para balon menyembunyikan visi-misi kampanyenya di balik berita-berita media. Ini juga disebabkan kurangnya pemahaman jurnalis terhadap pemilihan umum.
  • Kampanye Negatif.
Ini dikarenakan, informasi masih dilihat sebagai sebuah hal yang tidak penting oleh masyarakat. Masyarakat hanya “menurut” pada sosok tertentu yang selama ini dianggap tokoh masyarakat. Kampanye negatif seperti ini dapat mengarah pada fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.

Solusi

Untuk meminimalkan masalah yang mungkin timbul itu, diperlukan peran serta masyarakat, tidak semata-mata tanggungjawab pemerintah saja. Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena pemilu antara lain :
  1. Seluruh pihak yang ada di daerah sampai pusat, bersama-sama menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan Pilkada. Tokoh-tokoh masyarakat yang merupakan panutan diharapkan memberikan contoh yang baik bagi warganya. Ini akan menekan munculnya konflik.
  2. Saling menghargai pendapat. Perbedaan pendapat dalam demokrasi adalah hal wajar. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar.
  3. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan, agar masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat.
  4. Memilih dengan hati nurani tanpa paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip-prinsip pemilu dapat terlaksana dengan baik.
Bangsa yang belajar adalah bangsa yang setiap waktu mau berbenah diri. Pemerintah Indonesia telah berusaha membenahi sistem yang telah ada untuk mengedepankan kepentingan rakyat. Walaupun dalam pelaksanaannya, pilkada masih kerap memunculkan masalah, tetap harus dihargai sebagai sebuah proses yang akan terus disempurnakan hingga didapati sebuah sistem yang benar-benar menjamin keakuratan dan kredibilitas sebuah proses demokratisasi.
Sebagai bahan pendidikan politik bagi masyarakat, baik persoalan maupun prestasi yang timbul karena proses politik tersebut harus selalu diapresiasi dengan positif, bahwa menghargai pendapat, kebersamaan dalam menghadapi sesuatu, adalah hal positif lainnya dari sebuah demokrasi.
Manusia yang bodoh dan pandir adalah manusia yang masuk lubang kesalahan berulangkali, tanpa ada sikap dan dan niat untuk memperbaikinya. Sebisa mungkin, persoalan-persoalan yang pernah terjadi pada pilkada lampau, tidak terulang pada pilkada kali ini.

sumber : http://ilhamqmoehiddin.wordpress.com/2010/01/11/masalah-yang-kerap-muncul-dalam-proses-pilkada/

PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA

A. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia

Demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan negara kita, semua konstitusi yang pernah berlaku menganut prinsip demokrasi. Hal ini dapat dilihat misalnya:
1.     Dalam UUD 1945 (sebelum diamandemen) pasal 1 ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
2.          Dalam UUD 1945 (setelah diamandemen) pasal 1 ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”.
3.          Dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat, Pasal 1 Ayat (1) berbunyi: “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi”.
4.          Konstitusi Republik Indonesia Serikat Ayat (2) berbunyi: “Kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat”.
5.          Dalam UUDS 1950 pasal 1:1) Ayat (1) berbunyi: “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”. 2) Ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan Republik Indonesia adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan rakyat”.

Untuk melihat apakah suatu sistem pemerintahan adalah sistem yang demokratis atau tidak, dapat dilihat dari indikator-indikator yang dirumuskan oleh Affan Gaffar berikut ini:
1.                  Akuntabilitas
2.                  Rotasi kekuasaan
3.                  Rekruitmen politik yang terbuka
4.                  Pemilihan umum
5.                  Menikmati hak-hak dasar

Berikut ini adalah sejumlah uraian singkat mengenai pelaksanaan demokrasi di Indonesia selama masa pemerintahan revolusi kemerdekaan hingga masa reformasi saat ini.

a.
 Demokrasi pada Masa Pemerintahan Revolusi Kemerdekaan (1945-1949)
Pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan ini, pelaksanaan demokrasi baru terbatas pada interaksi politik di parlemen dan berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan. Meskipun tidak banyak catatan sejarah yang menyangkut perkembangan demokrasi pada periode ini, akan tetapi pada periode tersebut telah diletakkan hal-hal mendasar. Pertama, pemberian hak-hak politik secara menyeluruh. Kedua, presiden yang secara konstitusional ada kemungkinan untuk menjadi diktator. Ketiga, dengan maklumat Wakil Presiden, maka dimungkinkan terbentuknya sejumlah partai politik yang kemudian menjadi peletak dasar bagi sistem kepartaian di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya dalam sejarah kehidupan politik kita.

b.
 Demokrasi Parlementer (1950-1959)
Masa demokrasi parlementer merupakan masa kejayaan demokrasi di Indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat kita temukan perwujudannya dalam kehidupan politik di Indonesia. Pertama, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan. Kedua, akuntabilitas (pertanggungjawaban) pemegang jabatan dan politis pada umumnya sangat tinggi. Ketiga, kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh peluang yang sebesar-besarnya untuk berkembang secara maksimal. Keempat, sekalipun Pemilihan Umum hanya dilaksanakan satu kali yaitu pada 1955, tetapi Pemilihan Umum tersebut benar-benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi. Kelima, masyarakat pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak dikurangi sama sekali, sekalipun tidak semua warga negara dapat memanfaatkannya dengan maksimal. Keenam, dalam masa pemerintahan Parlementer, daerah-daerah memperoleh otonomi yang cukup bahkan otonomi yamg seluas-luasnya dengan asas desentralisasi sebagai landasan untuk berpijak dalam mengatur hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. 
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa demokrasi perlementer mengalami kegagalan? Banyak sekali para ahli mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Dari sekian banyak jawaban, ada beberapa hal yang dinilai tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, munculnya usulan presiden yang dikenal dengan konsepsi presiden untuk membentuk pemerintahan yang bersifat gotong-royong. Kedua, Dewan Konstituante mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan merumuskan ideologi nasional. Ketiga, dominannya politik aliran, sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan konflik. Keempat, basis sosial ekonomi yang masih sangat lemah.

c. Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Demokrasi terpimpin merupakan pembalikan total dari proses politik yang berjalan pada masa demokrasi perlementer. Pertama, menguburnya sistem kepartaian. Kedua,bdengan terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, peranan lembaga legislatif dalam sistem politik nasional menjadi semakin lemah. Ketiga, hak dasar manusia menjadi sangat lemah. Keempat, masa demokrasi terpimpin adalah masa puncak dari semangat anti kebebasan pers. Kelima, sentralisasi kekuasaan yang semakin dominan dalam proses hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah.

d. Demokrasi pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Pertama, rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan hampir tidak pernah terjadi. Kedua, rekruitmen politik bersifat tertutup. Ketiga, pelaksanaan hak dasar warga negara.

e. Demokrasi pada Masa Reformasi (1998 Sampai dengan Sekarang)
Dalam masa pemerintahan Habibie inilah muncul beberapa indikator kedemokrasian di Indonesia. Ada ruang kebebasan pers sebagai ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan kenegaraan. Kedua, diberlakunya sistem multi partai dalam pemilu tahun 1999. Demokrasi yang diterapkan negara kita pada era reformasi ini adalah demokrasi Pancasila, tentu saja dengan karakteristik yang berbeda dengan orde baru dan sedikit mirip dengan demokrasi perlementer tahun 1950-1959. Pertama, Pemilu yang dilaksanakan (1999-2004) jauh lebih demokratis dari yang sebelumnya. Kedua, rotasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat sampai pada tingkat desa. Ketiga, pola rekruitmen politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka. Keempat, sebagian besar hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers, dan sebagainya.